Meriam bambu di NTT memiliki nilai dan makna tersendiri. Warga memainkannya untuk menyambut datangnya Hari Natal.
P ENGARUH budaya Eropa di se bagian besar daerah Nusa Teng gara Timur (NTT) memang masih terasa hingga saat ini. Tidak hanya pada tarian modern (dansa) ala bangsa kulit putih, simbol peperangan pun masih tertanam kuat.
Simbol peperangan itu berupa permainan perang-perangan bunyi dengan menggunakan meriam bambu. Itu masih bisa kita temukan hingga kini. Meriam bambu bukan secara kasatmata berpeluru sebagaimana digunakan bangsa Eropa saat menjajah Nusantara. Unsur utamanya terletak pada bunyi.
Meriam bambu di NTT berupa batang bambu, dibuat menyerupai bedil. Biasanya, anak-anak dan remaja memainkan pada Desember. Meriam siapa yang mengeluarkan bunyi paling keras, dialah yang menjadi raja dalam permainan.
Pada era 1980-an, masih sering kita mendengar dentuman keras meriam bambu di Kota Kupang, ibu kota NTT. Letupan keras seakan menandakan bahwa masyarakat sedang bergembira menyambut sebuah peristiwa bersejarah, Natal.
Namun, dengan perubahan zaman, anakanak dan remaja di Kota Kupang sudah meninggalkan permainan tradisional itu.Di NTT, meriam bambu selalu bermakna kebahagiaan. Suatu simbol yang diperdengarkan lewat bunyi.
“Anak-anak di pelosok desa masih memainkan meriam bambu. Ini permainan tradisional. Bunyi yang terdengar menandakan ada kebahagiaan yang diletupkan,“ ujar budayawan Felix Sangu di Jakarta, pekan lalu.
Felix kebetulan berada di Ibu Kota untuk menghadiri sebuah acara budaya. Baginya, tradisi masyarakat di NTT sudah mulai memudar. Tidak hanya tradisi meriam bambu, tetapi juga bahasa daerah.
“Di Ende, ada bahasa lokal yang mulai ditinggalkan pemakainya. Lokalitas (termasuk meriam bambu) ini harus diperhatikan pemerintah,“ jelas lelaki berambut perak yang juga ahli linguistik dari Universitas Nusa Cendana, Kupang, itu.
Keberadaan tradisi masyarakat di NTT memang menjadi unik untuk di kaji. Di kawasan Timor Barat, misalnya, anak-anak dan remaja masih memainkan meriam bambu. Tentu saja, tak di setiap kota kota/kabupaten. Hal itu disebabkan dentuman meriam bambu mengganggu ketertiban umum.
Meski demikian, pekan lalu, di Desa Nunura, Kecamatan Raihat, Kabupaten Belu, anak-anak dan pemuda masih memainkan meriam bambu. Mereka silih berganti mendentumkan sehingga terdengar seperti perang-perangan.
Tidak hanya itu, di Kampung Homa yang berbatasan dengan kampung seberang, Kampung Lewowuun di Dusun Lewoduli, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, anak-anak dan pemuda juga masih memainkan meriam bambu jelang Natal.
Dua dusun itu dipisahkan sebuah kali mati sehingga para pemuda antarkampung bertarung membunyikan secara bergantigantian. “Tradisi ini masih berlangsung.Pada era 80-an hingga 90-an, saya ingat kami memainkan setiap kali hujan reda di sore hari,“ tutur Antonius Ola Payong, putra asli setempat. Lelaki kelahiran Lama Tewelu, Adonara Timur, 1 Juli 1976 itu menjelaskan keberadaan meriam bambu tak lepas dari meriam milik bangsa Portugis. Itu terjadi sejak bangsa Portugis berlayar melewati perairan di kawasan tersebut untuk mencari rempah-rempah, termasuk ke Maluku dan Timor pada abad ke-16.
Konon, anak-anak mendapatkan inspirasi saat melihat kapal-kapal perang Portu gis berlabuh di bibir pantai. “Be lum ada literatur yang kuat. Namun, tetua tetua percaya. Meriam bambu diilhami dari bangsa Portugis saat melakukan ekspansi,“ tandas Anto nius, ayah dua putra.
Membuat meriam bambu cukup mudah. Bahan utama ialah bambu. Itu dipotong se panjang 1,5 meter atau 3-4 ruas dengan diameter 4 inci (10,16 cm). Di permukaan bambu pada bagian ujung dilubangi 10 cm dari penggalan bambu. Lubang itu berguna untuk menyulut meriam bambu.Lubang tersebut juga bermanfaat untuk menaruh minyak tanah sebagai bahan bakar utama.
Cara memainkannya pun cukup sederhana. Panaskan bambu dengan cara membakar minyak di dalam ujung bambu. “Kita harus panaskan dulu untuk mendapatkan bunyi yang mantap,“ cetus Antonius.Nilai-nilai Bermain meriam bambu tidak perlu keahlian khusus. Hanya nyali saja untuk memainkan meriam bambu. Hal yang perlu diperhatikan ialah jangan sampai tangan atau wajah terbakar api sendiri. Bagi anakanak di Adonara dan Timor, hal itu sangat menyenangkan karena bahannya murah dan murah.
Selain sebagai ungkapan kegembiraan, ada nilai-nilai yang tertanam jelas dalam makna meriam bambu. Ada lima makna utama, yaitu memaknai hari besar keagamaan, wujud syukur atas kegembiraan, melestarikan tradisi leluhur, melatih kreativitas untuk menciptakan permainan, dan sebagai uji nyali.
Keberadaan meriam bambu memang berkembang pesat di Nusantara. Di daerah Minangkabau, misalnya, itu dikenal dengan meriam betung, sedangkan di Gorontalo disebut bungo. Di dua daerah tersebut, itu biasanya dimainkan sebelum sahur dan buka puasa di bulan Ramadan.
Hampir semua fungsi sama, yaitu sebagai ikatan kebahagiaan. Namun, di NTT memang berbeda karena dilatarbelakangi kehidupan masyarakat yang mayoritas nasrani.
Lewat meriam bambu, anak-anak hingga pemuda pun memahami betul simbol kebersamaan yang ada. Semuanya menggunakan sebagai ikatan persaudaraan. Mereka melakukan perang-perangan, tetapi tidak bertikai laiknya sebuah perang sesungguhnya.
Tak dapat disangka, pengaruh fisik meriam--senjata berpeluru bulat--yang dibawa bangsa Eropa (baik Portugis maupun Belanda) cukup kuat. Meski demikian, ada yang unik karena meriam bambu sebagai jati diri bangsa Indonesia. Sebagai nilai, meriam bambu memiliki makna tersendiri. Api, misalnya, sebagai `terang dunia', sedangkan minyak sebagai `penyucian' dan `pembakaran'.
Inilah simbol meriam bambu yang berkembang di NTT. Ada ungkapan sukacita masyarakat dalam menyambut perayaan hari kelahiran Yesus Kristus. Tradisi membunyikan meriam bambu pun masih kuat.
Sayang, permainan itu terkadang dianggap kampungan dan ketinggalan zaman sehingga mereka bermain secara berondok di balik pepohonan. Sementara itu, anakanak di kota mulai beralih menggunakan petasan.
Padahal, nilai-nilai meriam bambu memiliki korelasi dengan kehidupan, yaitu menjaga kebersamaan anak-anak. “Kebersamaan ini menjadi pengikat anak-anak untuk menyuarakan kegembiraan bersama pula. Saya kira ini bukan kampungan.Anak-anak malah menjaga tradisi turuntemurun,“ jelas Antonius.
Jelang perayaan Natal, 25 Desember, tahun ini, dentuman meriam bambu di daerah-daerah pelosok di NTT menjadi kekhasan tersendiri. Anak-anak dan remaja rela menempuh perjalanan berkilo-kilo meter ke hutan.
Mereka mencari bambu terbaik untuk dijadikan bedil. Sebuah tradisi warisan leluhur yang pantas untuk dilestarikan bersama-sama. (M-1) Media Indonesia, 14/12/2014, halaman 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar